BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Thalasemia merupakan kelainan genetik yang
ditandai oleh penurunan atau tidak adanya sintesis atau beberapa rantainpolipeptida
globin (Soegijanto S,2007).
Berbagai penyakit kelainan darah merupakan penyakit yang relaif sulit
untuk dihindari. Terlebih pengetahuan tentang penyakit ini belum merata hingga
ke daerah. Begitu juga dengan penyakit thalassemia. World Heatlh Organization (WHO) menyatakan, insiden pembawa
sifat thalassemia di Indonesia berkisar 6-10%, artinya dari setiap 100 orang,
6-10 orang adalah pembawa sifat thalassemia. Karena penyakit ini merupakan
penyakit yang diturunkan, maka penderita penyakit ini telag terdeteksi sejak
masih bayi (WHO, 2009).
Thalasemia sudah ada di tengah masyarakat Indonesia. Hasil riset
terbaru sangat mencengangkan. Dimana sekitar 20 juta penduduk Indonesia membawa
gen penyakit talasemia. Mereka berpeluang mewariskan penyakit kelainan darah
itu kepada keturunannya (Depaertemen Kesehatan, 2007).
Data menunjukkan, terdapat 3.000 penderita thalasemia yang terdaftar
dan tersebar di Pulau Jawa. Dari jumlah itu, 1.300 di antaranya tinggal di
Jakarta. Untuk Indonesia, diperkirakan terdapat 3.000 penderita baru setiap
tahun. Sementara di Thailand, terjadi penambahan penderita thalasemia sebanyak
12 ribu orang setiap tahunnya (Departemen Kesehatan, 2007).
Untuk
Provinsi Aceh sendiri sudah mencapai 280 orang yang terdata menderita
thalasemia dan itu tersebar diseluruh kabupaten / kota di Aceh dan rata-rata
pasien tersebut berada di bawah kemiskinan sehingga membutuhkan perhatian
khusus (Dinkes ACEH, 2010).
Penyakit
kelainan darah ini menyebabkan sel darah (hemoglobin) merah cepat hancur
sehingga usia sel-sel darah menjadi lebih pendek dan tubuh kekurangan darah.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis akan menyajikan
sebuah makalah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Leukemia”. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan pembaca
sekalian..
B.
Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Diharapkan mahasiswa mengetahui Asuhan
Keperawatan Thalasemia..
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui konsep teoritis Thalasemia.
b. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada
penderita Thalasemia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Teoritis Thalasemia
1. Definisi
Thalasemia
Thalasemia
merupakan kelainan genetik yang ditandai oleh penurunan atau tidak adanya
sintesis atau beberapa rantainpolipeptida globin (Soegijanto S, 2007).
Thalasemia
adalah kelainan kongenital, anomali pada eritropoesis yang diturunkan dimana
hemoglobin dalam eritrosit sangat kurang, oleh karenanya akan terbentuk
eritrosit yang relatif mempunyai fungsi yang sedikit berkurang (Supardiman
I,2007). Thalasemia merupakan kelainan genetik heterogen yang timbul akibat
berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta (Hoffbrand A, dkk,2008).
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa thalasemia adalah sekelompok penyakit atau
keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai
polipeptida terganggu. Secara garis besar sindrom thalasemia dibagi dalam dua
golongan besar yaitu alfa dan beta sesuai kelainan berikutnya produksi rantai
polipeptida.
2. Etiologi
Menurut
Wijaya, (2013) thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karena
kecelakaan genetik) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada
thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut. Individu normal yang
mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletak pada tiap
bagian pendek kromosom 16 (aa/aa). Hilangnya 1 gen (silent carrier) tidak memberikan gejala klinis sedangkan hilangnya
2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak memberikan gejala klinis
yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H) memberikan anemia moderat dan
gambaran klinis thalasemia alfa intermadia. Afinitas Hb H terhadap oksigen
sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih cepat. Delesi ke 4 gen alfa
adalah tidak kompatibel dengan kehidupan akhir intra-uterin atau neonatal, tanpa
tranfusi darah.
Gen
yang mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11. Pada
thalasemia beta, mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan
berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Dibedakan 2 golongan besar
thalasemia beta :
1)
Ada
produksi sedikit rantai beta (tipe beta plus)
2)
Tidak
ada produksi rantai beta (tipe beta nol)
Defisit
sintesis globin beta hampir paralel dengan defisit globin beta mRNA yang
berfungsi sebagai template untuk
sintesis protein.
3. Klasifikasi
Thalasemia
Secara
garis besar, thalasemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu thalasemia alpha
dan thalasemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi rantai
polipeptida (Wijaya, 2013).
a.
Thalasemia
Alpha
Thalasemia alpha biasanya disebabkan oleh delesi (penghapusan) gen.
Secara normal terdapat empat buah gen globin alpha, oleh sebab itu beratnya
penyakit secara klinis dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atu
tidak aktif. Thalasemia dibagi menjadi (PMI Jatim. 2007) :
1)
Silent Carrier state ( gangguan pada satu rantai globin allpha)
Kelainan yang disebabkan oleh kurangnya
protein alpha. Tetapi kekurangan hanya dalam tahap rendah. Akibatnya fungsi
hemoglobin dalam eritrosit tampak normal dan tidak terjadi gejala klinis yang
signifikan. Silent carrier sulit dideteksi karena
penderitanya masih dapat hidup normal. Umumnya, silent carrier baru terdeteksi ketika memiliki keturunan yang
mengalami kelainan hemoglobin atau timbul thalasemia alpha.
2)
Thalasemia alpha Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha)
Thalasemia alpha trait sering tidak bersamaan
dengan anemia, tapi volume eritrosit rata-rata (MCV), hemoglobin eritrosit
rata-rata (MCH), dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (MCHC) semuanya
rendah dan perhitungan sel darah merah di atas 5,5 x 1012 /L.
Elektroforesis hemoglobin normal tetapi kadang-kadang benda hemoglobin H dapat
diamati dalam sel darah merah yang diisolasi pada sediaan retikulosit dan
pemeriksaan ratio sintesis rantai alpha/ beta diperlukan untuk kepastian
diagnosis. Ratio alpha/beta normal 1:1 dan ini berkurang pada thalasemia alpha.
Penderita hanya mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang
tampak pucat (hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer) .
3)
Hemoglobin
H Disease (gangguan pada rantai globin alpha)
Delesi tiga gen alpha menyebabkan anemia
mikrositik hipokrom yang cukup berat (hemoglobin 7-11g/dl) disertai pembesaran
limpa (splenomegali). Keadaan ini dikenal sebagai penayakit hemoglobin H karena
hemoglonin H dapat dideteksi dalam eritrosit pasien melalui pemeriksaan
elektroforesis atau persediaan retikulosit (Supandiman I, 2007). Gambaran
klinis dari penderita dapat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali,
hingga anemia yang berat yang disertai dengan splenomegali (PMI Jatim, 2007).
4)
Thalasemia
alpha Major (gangguan pada 4 rantai globin alpha)
Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalasemia tipe
alpha. Pada kondisi ini tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak
ada hemoglobin A atau hemoglobin F yng diproduksi. Pada awal kehamilan biasanya
janin yang menderita thalasemia alpha major mengalami anemia, membengkak karena
kelebihan cairan (hydrops fetalis), pembesaran hati dan limpa. Janin yang
menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah
dilahirkan (Wijaya, 2013).
b.
Thalasemia
Beta
Thalasemia beta merupakan kelainan yang
disebabkan oleh kurangnya produksi protein beta, talasemia beta terjadi jika
terjadi mutasi pada satu atau dua rantai globin yang ada.
Thalasemia beta dibagi menjadi (PMI Jatim, 2007) :
1)
Thalasemia
Beta Trait (Minor)
Thalasemia Beta Trait (minor) merupakan kelainan yang diakibatkan
kekurangan protein beta. Namun, kekurangannya tidak terlalu signifikan sehingga
fungsi tubuh dapat normal. Gejala terparahnya hanya berupa anemia ringan
sehingga dokter sering kali salah mendiagnosis. Penderita thalasemia minor
sering di diagnosis mengalami kekurangan zat besi. Individu yang memiliki
gejala seperti ini akan membawa kelainan genetiknya tersebut untuk diturunkan
pada keturunannya kelak. Penderita thalasemia trait (minor) merupakan carrier pada thalasemia beta.
2)
Thalasemia
Intermedia
Pada kondisi ini keduan gen mengalami mutasi tetapai masih bisa
memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia
yang derajatnya tergantung dari mutasi gen yang terjadi.
Anemia, pengapuran, dan
pembesaran pembuluh darah merupakan gejala yang ditimbulkan oleh kekurangan
protein beta dalam jumlah yang cukup signifikan. Rentang gejala thalasemia
intermedia dengan thalasemia mayor hampir mirip sehingga penderita sering
memperoleh kekacauan diagnosis. Indikator yang sering menjadi acuan adalah
jumlah tranfusi darah yang diberikan pada penderita. Semakin sering penderita
menerima tranfusi, maka dapat dikatagorikan sebagai thalasemia mayor. Tranfusi
darah pada penderita thalasemia intermedia ditujukan untuk memperbaiki kualitas
hidup, bukan mempertahankan hidup.
3)
Thalasemia
Major (Cooley’s anemia)
Kelainan serius yang disebabkan karena tubuh sangat sedikit memproduksi
protein beta sehingga hemoglobin yang terbentuk akan cacat atau abnormal.
Penderitanya akan merasakan gejala anemia akut sehingga selalu membutuhkan tranfusi
darah dan perawatan kesehatan secara rutin dan terus menerus. Frekuensi
pemberian tranfusi darah sebaiknya sekitar 2-3 minggu. Namun, seringnya
tranfusi akan menyebabkan penderita kelebihan zat besi dalam tubuhnya sehingga
dapat menyebabkan gagal organ. Oleh karena itu, penderita thalasemia mayor juga
harus menjalani terapi. Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga
tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul pada bayi
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat (PMI Jatim, 2007).
4. Patofisiologi
Penyebab
anemia pada pasien Thalasemia bersifat primer atau sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai
penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder adalah
karena defisiensi asam polat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
megakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial
dalam limpa dan hati (Mansjoer,A, 2003).
Pada
pasien thalasemia terjadi penurunan sistesis rantai globin (alfa dan beta)
sehingga menyebabkan anemia karena hemoglobinisasi eritrosit yang tidak
efektif. Eritrosit yang normal dapat hidup sampai dengan 120 hari menjadi mudah
rusak dan umur sel darah merah menjadi pendek kurang dari 100 hari. Pasien dengan
thalasemia alfa disebabkan karena penurunan sintesis globin a, maka tidak
menyebabkan perubahan pada persentase distribusi hemoglobin A, A2 dan F
Thalasemia beta terjadi akibat penurunan
atau tidak adanya rantai globin b, hal ini disebabkan karena adanya mutasi. Mutasi
ini disebabkan prematuritas rantai atau gangguan dalam transkip RNA dan dapat
menyebabkan defek yang menyebabkan ekspresi rantai globin disebut B. Sedangkan
yang dapat menyebabkan penurunan sistesis disebut B penurunan rantai bea, menyebabkan rantai alfa tidak
stabil sehingga berakibatkan pada membran eritrosit. Eritrosit dapat rusak
sebelum waktunya sehingga meyebabkan anemia berat. Disisi lain pemecahan
hemoglobin akan menghasilkan zat besi yang kemudian akan terjadi penimbunan
pada hati, kulit dan limpabdan pada jangka waktu yang lama menimbulkan
komplikasi yaitu kegagalan fungsi organ seperti hati. Endokrin dan jantung. (Suriadi,
2010).
5. Pathway
Skema
2.1. Patofisiologi Thalasemia
(Yunanda,
2009)
6. Manifestasi
Klinis
Menurut
Wijaya, (2013) pada thalasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak
baru berumur kurangdari 1 tahun. Gejala yang terlihat anak lemah, puvcat,
perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur ; berat badan kurang. Pada anak
yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit karena adnya
pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba. Adanya pembesaran limap dan hati
tersebut mempengaruhi gerak si pasien karena kemampuannya terbatas. Limpa yag
embesar ini akan mudah ruptur hanya karena trauma ringan saja.
Gejala
lain (khas) ialah bentuk muka yang megaloid, hidung pesek mata lebar dan tulang
dahi membesar disebabkan karena gangguan perkembangan tulang muka dan
tengkorak. (gambaran radiologist tulang memperlihatkan medulla yang lebar, korteks
tipis dan trabekula kasar).
Keadaan
kulit kekuningan. Jika pasien telah sering mendapatkan tranfusi darah kulit
menjadi kelabu serupa dengna besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa,
jantung akan mengakibatkan gannguan fungsi faal alat-alat tersebut.
7. Pemeriksaan
Diagnostik
Menurut Wijaya, (2013)
pemeriksaan diagnostik pada penderita thalasemia adalah sebagai beikut :
a.
Studi
hematologi : terdapat perubahan- perubahan pada sel darah merah, yaitu
mikrositosis, hipokromia, anisisitosis, poikilositosis, sel target, eritrosit
yang immatur, penurunan hemoglobin dan hematokrit.
b.
Elektroforesis
hemoglobin : peningkatan hemoglobi F dan A2.
8. Penatalaksanaan
Pengobatan pada penderita
thalasemia dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (Wijaya, 2013) :
a.
Medikamentosa
1)
Pemberian
iron chelating agent (desferoxamine)
diberikan setelah kadar feritin serum seudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali tranfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat
badan/hari intra vena melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut setiap selesai tranfusi darah.
2)
Vitamin
C 100-250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk meningkatkan khelasi
besi.
3)
Asam
folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
4)
Vitamin
E 200-400 IU setiap hari sebagai anti oksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.
b.
Splenektomi
Splenektomi perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah.
Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya
resiko infeksi pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan dengan indikasi :
1)
Limpa
yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningktan
intra abdominal dan bahaya terjadi repture.
2)
Hiperslenisme
ditandai dengan peningkatan kebutuhan tranfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit melebihi 250 mh/kg berat badan dalam satu tahun.
c.
Sufortif
Pengobatan paling umum pada penderita thalasemia adalah tranfusi
komponen sel darah merah. Tranfusi bertujuan untuk mensuplai sel darh merah
sehat untuk sementara waktu bagi penderita. Tranfusi darah yang teratur perlu
dilakukan untuk mempertahankan hemoglobinpenderita diatas 10 g/dl setiap saat.
Hal ini biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu. Dengan keadaan ini akan
memberikan supresi sum-sum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk packed red
cell (RPC), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan hemoglobin 1 gr/dl.
9. Komplikasi
Akibat
anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang
berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabhkan kadar besi dalam darah
tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa,
kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat
tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang
ringan , kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Price, 2007).
10. Prognosis
Thalasemia
homozigot umumya meninggla pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3,
walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating
agents untuk mengurangi homosiderosis (harganya pun mahal, pada umumnya tidak
terjangkau oleh penduduk negara berkembang). Thalasemia tumor trait dan
thalasemia beta HbE yang umumnya mempunyai prognosis baik dan dapat hidup
seperti biasa (Price, 2007).
11. Pencegahan
a.
Pencegahan
Primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang untuk tidak menderita
thalasemia ataupun menjadi carrier
thalasemia yaitu konseling genetik pranikah. Konseling genetik pranikah (marniage counselling) untuk mencegah
perkawinan diatara pasien thalasemia agar tidak mendapat keturunan yang
homozigot atau varian-varian thalasemia dengan motalitas tinggi. Perkawinan
antara 2 heterozigot (carrier) menghasilkan
: 25% thalasemik (homozigot), 50% carrier (heterozigot) dan 25% normal (Gennie,
2007).
b.
Pencegahan
Sekunder
Pecegahan sekunder pada penerita thalasemia dilakukan dengan cara
(Gennie, 2007) :
1)
Diagnosis
Prenatal
Diagnosis prenatal selain ditujukan untuk pasangan carrier, juga dimaksudkan bagi pasangan beresiko lainnya yang telah
mempunyai bayi thalasemia. Tujuan dari diagnosis prenatal adalah untuk
mengetahui sedini mungkin apakah janin yang dikandung menderita thalasemia
mayor atau tidak. Diagnosis prenatal pada thalasemia dapat dilakukan pada usia
8-10 minggu kehamilan dengan sampel villi
chorialis sehingga masih memungkinkan untuk melakukan terminasi jika di
butuhkan.
2)
Skrining
Skrining merupakan pemantauan perjalanan penyakit dan pemantauan hasil
terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi :
a)
Hematologi
rutin untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah.
b)
Gambaran
darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah.
c)
Feritin,
Serum Iron (SI) untuk melihat status
besi.
d)
Analisis
hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis thalasemia.
e)
Analisa
DNA untuk diagnosis prenatal (pada janin) dan penelitian.
3)
Tranfusi
Darah
Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah sampai kadar hemoglobin sekitar
11 g/dl. Kadar homoglobin setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang
berlebihan di dalam sum-sum tulang dan mengurangi absorpsi Fe dari traktus
digestivus. Pasien dengan kadar Hb yang rendahuntuk waktu yang lama, perlu di
tranfusi dengan hati –hati dan sedikit demi sedikit. Frekuensi sebaiknya
sekitar 2-3 minggu. Sebelum dan sesudah pemberian tranfusi ditentukan hematokrit.
Berat badan perlu dipantau paling sedikit 2 kali 1 tahun.
c.
Pencegahan
Tersier
Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan megadakan
rehabilitasi bagi penderita thalasemia. Pencegahan tersier bagi penderita
thalasemia adalah dengan mendirikan pusat rehabilitasi medis bagi penderita
thalasemia.
B.
Asuhan Keperawatan Teoritis
Menurut
Wijaya, (2013) asuhan keperwatan pada thalasemia adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian
a.
Indentitas
: Nama, umur, alamat, diagnosa medos, tanggal MRS, keluarga yang dapat
dihubungi, RM.
b.
Riwayat
Kesehatan
1)
Riwayat
Kesehatan Sekarang
Anoreksia, lemah, diare, demam, anemia, ikterus ringan, BB menurun,
perut membuncit, hepatomegali dan splenomegali.
2)
Riwayat
Kesehatan Dahulu
Apakah klien pernah mengalami anemia.
3)
Riwayat
Kesehatan Keluarga
Biasanya salah satu anggota keluarga pernah mengalami penyakit yang
sama.
c.
Pemeriksaan
fisik
1)
Keadaan
umum ;
Tingkat kesadaran : compos mentis, apatis atau koma
TTV : peningkatan pada sistolik, suhu stabil dan nafas pendek
2)
Kepala
dan rambut : biasanya normal
3)
Muka/wajah
:
Wajah seperti megaloid
Pada mata : konjungtiva anemis dan sclera ikterik
Pada bibir sianosis
4) Torak/dada
Paru : nafas pendek, takipnea, ortopnea, dan
dispnea.
Jantung : bunyi jantung mur-mur sistolik
5) Leher
Tidak ada pembesaran KGB
6) Abdomen
Adanya pembesaran hati dan limfa serta nyeri
abdomen
7) Ekstremitas
Perubahan pada tulang : penipisan tulang ;
penipisan korteks tulang punggung.
8) Kulit
Warna pucat, terdapat koreng dan tungkai
9) Genetalia
Perubahan pada seks sekunder
d. Pertumbuhan dan Perkembangan
Biasanya terjadi pertumbuhan dan perkembangan
yang lambat.
2. Diagnosa
Keperawatan
Menurut Suriadi, (2010) diagnosa
keperawatan yang mungkin akan muncul
adalah sebagai berikut :
a. Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya
komponen seluler yang penting untuk menghantarkan Oksigen/zat nutrisi ke sel.
b. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan
kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d kurangnya selera makan.
d. Koping keluarga tidak efektif b.d dampak
penyakit anak terhadap fungsi keluarga.
e. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit b.d
perubahan sirkulasi dan neurologis.
f. Resiko infeksi b.d pertahanan sekunder tak
adekuat : penurunan Hb, leukopeni atau penurunan granulosit.
g. Perubahan tumbuh kembang b.d penurunan
kemampuan fisik yang disebabkan oleh kelainan hematology dan efek penyakit dan
terapi.
3. Intervensi
No. Dx.Keperawatan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
1)
Monitor
TTV, pengisian kapiler, warna kulit dan membran mukosa.
2)
Tinggikan
posisi kepala tempat tidur.
3)
Periksa
adanya keluhan nyeri.
4)
Catat
keluhan rasa dingin.
5)
Pertahankan
suhu lingkungan dan tubuh hangat.
6)
Beri
oksigen sesuai kebutuhan.
7)
Kolaborasi
dalam pemeriksaan leb : Hb, HMT, SDM.
|
1)
Perubahan
tanda vital,warna kulit dan membran mukosa menunjukkan tanda perfusi
jaringan.
2)
Meningkatkan
ekspansi paru dan memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan seluler.
3)
Iskemia
seluler mempengaruhi jaringan miokardial.
4)
Vasokontriksi
ke organ vital menurunkan sirkulasi perifer.
5)
Memaksimalkan
transfer oksigen ke jaringan.
6)
Memantau
kadar oksigenasi.
|
2.
|
1)
Kaji
kemampuan anak dalam melakukan aktivitas.
2)
Monitor
TTV, respon fisiologis selama, setelah melakukan aktivitas.
3)
Beri
informasi pada anak/keluarga untuk berhenti melakukan aktivitas jika terjadi
peningkatan TTV atau pusing.
4)
Beri
bantuan dalam beraktivitas/ambulasi bila perlu.
5)
Prioritaskan
jadwal askep untuk meningkatkan istirahat
|
1)
Mempengaruhi
pilihan intervensi.
2)
Manifestasi
kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen
adekuat ke jaringan.
3)
Rangsangan
atau stres kardiopulmonal berlebihan dapat menimbulkan dekompensasi atau
kegagalan.
4)
Membantu
dan memberi dukungan.
5)
Mempertahankan
tingkat energi dan meningkatkan regangan pada sistem jantung.
|
3.
|
1)
Kaji
riwayat nutrisi dan makanan yang disukai.
2)
Observasi
dan catat masukan makanan.
3)
Timbang
berat badan setiap hari.
4)
Beri
makanan sedikit tapi sering dan atau makan diantara waktu makan.
5)
Konsul
ahli gizi.
6)
Beri
obat/suplemen vitamin sesuai order.
|
1)
Mengidentifikasi
defisiensi,merencanakan intervensi.
2)
Mengawasi
masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
3)
Mengawasi
penurunanan BB atau aktivitas intervensi nutrisi.
4)
Makanan
dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi
gaster.
5)
Membantu
membuat rencana diet
6)
Meningkatkan
masukan protein dan kalori.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau
keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai
polipeptida terganggu. Secara garis besar sindrom thalasemia dibagi dalam dua
golongan besar yaitu alfa dan beta sesuai kelainan berikutnya produksi rantai
polipeptida (Saferi, dkk, 2013).
Penyakit kelainan darah ini menyebabkan sel darah
(hemoglobin) merah cepat hancur sehingga usia sel-sel darah menjadi lebih
pendek dan tubuh kekurangan darah. Misalnya jika sel darah merah pada orang sehat
bisa bertahan hingga 120 hari, pada penderita thalassemia sel darah merahnya
hanya bertahan 20-30 hari. Penyakit ini muncul dengan gejala diantaranya
anemia, pucat, sukar tidur, lemas dan tidak punya nafsu makan.
B.
Saran
1.
Bagi mahasiswa
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memahami asuhan keperawatan
Leukemia.
2.
Bagi Institusi
Semoga dengan adanya makalah ini dapat memudahkan dalam proses belajar
mengajar.
3.
Bagi perawat lain
Semoga dengan adanya makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Gennie, R.A.
2007. Thalassemia:
Permasalahan dan Penanganannya. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan (Di akses pada
tanggal 18 Februari 2017).
Departemen kesehatan.
2007. Deteksi Dini Thalasemia http://www.litbang.
depkes.go.id/aktual/anak/thalasemia060507.htm
(Di akses pada tanggal 5
18
Februari 2017).
Price Sylvia, A.2007.Patologis : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit.Jilid
2.jakarta : EGC.
Suriadi.dkk.2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak.Jakarta : Sagung Seto.
Yunanda, Yuki.
2008. Thalasemia.Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan
Wijaya, Andra Saferi dkk.2013.Keperawatan Medikal Bedah 2.Yogyakarta :
Nuhadika.
EmoticonEmoticon