Seputar pengetahuan penyakit lupus

1.) PENGERTIAN
     Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis.
2.) ETIOLOGI
      Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan (genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok, mercuri dan silica. Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena produksi antibody dan pembentukan kompleks imun yang abnormal, sehingga dapat terbentuk antibody terhadap multiple nuclear, sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari berbagai tipe sel di berbagai system organ, dengan bantuan suatu penanda Ig G dan factor koagulan. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai system organ.

3.) TANDA DAN GEJALA
      Gambaran klinis SLE sering membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering muncul adalah arthritit simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sring terserang adalah sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliarthritis SLE berbeda dengan arthritis rheumatoid karena jarang bersifat erosive atau menimbulkan deformitas. Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini.Keletihan dan rasa lemah dapat timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE. Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yangdapat timbul pada wajah, leher, ekstrimitas, atau pada tubuh. 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul rambut rontok yang kadang-kadang menjadi berat. Ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau pericardium.
Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, 25% menjadi gangguan ginjal yang berat. SLE juga dapat menyerang SSP maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkan meliputi perubahan tingkah laku, kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer.

4.) TERAPI NON FARMAKOLOGIS
      pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da seombang. Hal ini dalakukan untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE.hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan dapat menjadi factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CADpemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita hamil dengan antifosfolipid antibody.menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblokmenghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya SLE.

5.) TERAPI FARMAKOLOGIS
   1. OAINSDipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala yang masih awal merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki insidensi hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar. Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga penggunaannya perlu dimonitoring.
2. Obat AntimalariaTerapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Antimalaria dapat mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia, pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui lebih aman dibandingkan dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE.
3. KortikosteroidMerupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang matang harus dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis, dan beberapa penyakit psikiatris.Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE tetapi apabila gejala yang terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi (10-20 mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang dapat memberikan efek. Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan gejala nefritis parah, gejala pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan biasanya adalah 500-1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan 1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai dosis terendah yang masih dapat memberikan efek.
4. Obat SitotoksikTerapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :diagnosis pasti sudah ditegakkanadanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP, anemia hemolitik akut.kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping. Tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3 mg/kg BB per oral dan 0,5-1,0 g/m² BSA secara intra vena. Efek samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik, komplikasi kandung kemih, kemandulan, dan efek teratogenesis. Azatioprin dapat jugs digunakan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid, namum belum ada bukti yang memastikan bahwa penggunaan azatioprin lebih baik dibanding siklofosfamid. Agen sitotoksik baru yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mycofenolat mofenil. Pada beberapa studi secara random menunjukkan mycofenolat mofenil memberikan efek yang lebih baik dibanding azatioprin dan siklofosfamid.


EmoticonEmoticon